Suasana Rumah Ceria Medan (RCM) tampak ramai oleh suara guru yang semangat membimbing siswanya.
Sementara Yuli Yunika (33) masih sibuk menyiapkan berbagai perlengkapan untuk membuat terarium. Terarium merupakan hiasan dari kumpulan tanaman kecil yang biasa diwadahi kaca.
Barang-barang yang disiapkan Yuli meliputi pasir, lumut di dalam wadah, dan botol bekas air mineral sebagai pengganti wadah kaca.
"Hari ini saya jadwal masuk mata pelajaran seni budaya, jam 10.00, jadi ini saya sedang menyiapkan bahan praktek mereka buat terarium," ujar wanita yang kerap disapa Kak Uye, saat dijumpai Kompas.com di ruang kerjanya, Rabu (25/10/2023).
Setelah mengobrol sebentar, Uye beranjak ke teras sekolah berukuran panjang 3 meter dan lebar 4 meter. Di sana 10 murid antusias menunggunya. Mereka terdiri dari 8 siswa disabilitas dan 2 murid non-disabilitas.
Dengan penuh konsentrasi para siswa mendengar Uye menjelaskan pembuatan terarium dan bagaimana penyebutan istilah tersebut. Uye menggunakan bahasa isyarat maupun verbal saat berinteraksi.
"Kita mau buat apa, tera-rium, oke Nisa mau buat apa? verbalnya apa? jangan bengong Annisa, Tera-rium, um-um-um," ujar Uye mengajari Annisa seorang siswa tuli, dengan penuh kesabaran menggunakan bahasa isyarat.
Saat itu Annisa tampak tekun melihat Uye mencontohkan pembuatan terarium. Dengan penuh hati-hati Annisa mempraktikkannya.
Annisa memasukkan tanah, lumut, dan pasir ke dalam botol air mineral menggunakan pinset, agar miniatur ekosistem tersebut lebih estetik.
Tak lama kemudian, siswa non-disabilitas Tania (12), mengajak Annisa mencari tanaman pakis-pakisan atau rumput di sekitar sekolah untuk hiasan terarium.
Tania yang sudah 3 tahun sekolah di sana, tampak mahir menggunakan bahasa isyarat saat berkomunikasi dengan Annisa.
Mereka terlihat riang gembira saat terarium selesai dikerjakan. Dengan bangga, ia menunjukkannya ke Uye.
"Wah...bagus," ujar Uye.
Tidak mau kalah dengan Annisa, Lutfi (12) siswa lainnya juga menunjukkan kreativitasnya.
Anak dengan disabilitas tuli ini membuat terarium dengan memasukkan unsur 'orang-orangan' sehingga seolah-olah di dalam terarium ada petani yang menjaga tanaman.
"Cakep, sini kumpulkan sini karyanya kita foto-foto," ujar Uye, disambut para siswanya.
Kata Uye, ini kali pertama para siswa membuat terarium, Uye mengajarkan ini agar menjadi literasi baru bagi siswanya.
"Jadi di situ ada belajar biologinya juga ada literasi buat anak, jadi literasi yang mau dikuatkan kemudian kreativitas. Jadi nanti kita lihat, kira-kira yang cantik yang mana, terus tanaman yang bisa bertahan hidup di indoor seperti apa jenisnya? kita ajarkan mereka," tutur Uye.
Begitu sekilas cara Uye menerapkan pendidikan inklusi di RCM di Jalan Bunga Cempaka Padang Bulan, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan.
Di sekolah itu Uye memupuk kesetaraan pendidikan bagi anak disabilitas dan non-disabilitas secara bersamaan.
Uye yakin, dengan literasi yang baik dan budaya hidup berdampingan sejak dini, stigma negatif yang kerap melekat pada penyandang disabilitas bisa dihapus.
Inspirasi mendirikan SD inklusi
Cerita Uye mendirikan RCM bermula saat menjadi pendamping anak disabilitas, Sekolah Alam Medan tahun 2013.
Pengalaman di sana membuatnya peka terhadap kondisi puluhan anak disabilitas di tempat tinggalnya. Uye melihat puluhan anak-anak disana kerap di-bully dan dianggap bodoh.
Uye kemudian terpantik mendirikan Sanggar Ceria pada 2015. Awalnya ia hanya melatih anak-anak disabilitas yang mengalami kendala speech delay.
Bersama teman-temannya, Uye juga mengajari anak disabilitas keterampilan menari hingga fotografi. Dari sini ternyata banyak anak non-disabilitas ikut bergabung di komunitasnya.
Berselang 3 tahun, Uye mulai khawatir dengan masa depan anak disabilitas yang diasuhnya. Banyak anak disabilitas tidak bersekolah.
Selain faktor ekonomi, minimnya sekolah inklusi di Medan menjadi kendala. Tebersitlah niat Uye mendirikan taman kanak-kanak dan SD inklusi. Langkah itu terwujud pada tahun 2019.
"Udah ada ratusan siswa yang kami didik, kalau sekarang siswa TK ada dua kelas jumlahnya 30 lebih dan SD inklusif ada 10 orang," ujarnya.
Sekolah itu dirintis Uye dengan susah payah. Ia memaksimalkan uang yang didapatkannya sebagai pelatih renang, juru bahasa isyarat, hingga pendongeng.
Dalam prosesnya, Uye hanya mampu membangun dua kelas TK berukuran 4x6 meter dan ruangan SD inklusi di teras sekolah.
Bangunan yang sebagian besar berbahan bambu ini berdiri di tanah yang dipinjamkan seorang donatur seluas 50 x 40 meter.
Mengusung konsep alam, Uye tetap membangun permainan mulai dari perosotan, ayunan, dan lainnya. Kini, di sekolahnya terdapat 6 guru.
Soal biaya sekolah inklusi, pihaknya melakukan sistem subsidi silang, uang sekolah disesuaikan dengan ekonomi keluarga.
Ada yang bayar Rp 50.000 per bulan, Rp 75.000 per bulan. Bahkan, tak jarang ada siswa yang tidak sanggup membayar.
"Kadang kami patungan bersama guru lainnya untuk melunasi uang sekolahnya, yang penting mereka tetap sekolah," ujar Uye.
Selama 4 tahun berdiri, siswa SD disabilitas di RCM mengalami berbagai kendala yang berbeda. Sebab, siswanya beragam. Ada tuli, tunawicara, gangguan intelektual, delay speech, hingga down syndrome.
Namun, mereka tetap belajar bersama dengan anak non-disabilitas. Uye optimistis pendidikan inklusi ini bisa menjadi fondasi keakraban agar tidak ada lagi diskriminasi bagi penyandang disabilitas.
Kata Uye, pekerjaan para guru juga cukup berat di SD inklusi. Sebab, dalam satu kelas terdapat beberapa siswa dengan tingkatan kelas yang beragam.
Hal ini disebabkan para penyandang disabilitas masuk ke kelas dengan usia berbeda-beda saat mengawali pendidikan di RCM.
"Jadi di kelas ini ada kelas 3, kelas 4, kelas 5, dan 6 yang akan mempersiapkan ujian nasional," ujarnya.
Dalam membimbing siswanya, RCM tetap menggunakan kurikulum pemerintah, tetapi disesuaikan dengan bakat siswa. Contohnya, bila siswa tertarik di bidang IT maka dicari gurunya dan mereka ikut kelas sampai tamat.
Selain itu, RCM melatih siswa penyandang disabilitas lainnya terapi untuk perilaku mulai dari motorik halus dan kasar, serta verbal untuk skill berkomunikasi.
Dedikasi Uye sempat membuahkan hasil. Dia pernah meraih penghargaan Satu Indonesia Award tahun 2018, serta finalis Satu Indonesia Award 2020 dan 2021.
Penghargaan ini diberikan karena Uye tak kenal lelah memberi manfaat bagi masyarakat baik saat RCM masih berbentuk komunitas ataupun setelah menjadi sekolah.
Uye pun menghibahkan hadiah dari prestasinya itu untuk keberlangsungan sekolah RCM.
Source : https://medan.kompas.com/read/2023/11/06/053100878/kisah-yuli-yanika-bangun-sd-inklusi-menyemai-kesetaraan-pendidikan-bagi-anak